Rabu, 16 September 2015

Peningkatan Kualitas Pengolahan Pasca Panen Hasil Pertanian



Pertanian merupakan sektor penting yang menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Namun sektor pertanian masih mengalami banyak hambatan dalam kegiatannya sehingga belum mampu secara maksimal bersaing dengan produk pertanian negara lain. Salah satu aspek penting yang perlu diperbaiki untuk memaksimalkan keunggulan produk terletak pada pengolahan pasca panen hasil pertanian. 

Saat ini penanganan pasca panen dan pengolahan produk hortikultura masih bersifat tradisional sehingga mengakibatkan tingkat kerusakan dan kehilangan cukup tinggi. Pengepakan dan pengangkutan belum dilakukan dengan baik sehingga mengakibatkan kerusakan produk. Pasalnya, sebagian besar petani Indonesia masih bersifat tradisional dalam penanganan pasca panen produk pertanian, sehingga banyak mengalami penyusutan kualitas dan kuantitas yang berdampak terhadap nilai jual. Di sisi lain, pengetahuan dan keterampilan petani dalam bidang pengolahan hasil masih sangat minim, sehingga tidak dapat meningkatkan nilai tambah. Kelembagaan pasca panen yang belum berkembang, terbatasnya sarana prasarana pasca panen, dan belum mantapnya kemitraan usaha antara produsen dan industri juga menjadi salah satu faktor penyebab kurang berkembangnya pengolahan pasca panen hasil pertanian. 

Pengolahan pasca panen yang berdasarkan rentang kegiatannya dan cakupan teknologi pasca panen dibedakan menjadi dua kelompok, yakni penanganan primer yang meliputi penanganan komoditas hingga menjadi produk setengah jadi atau produk siap olah, dimana perubahan/transformasi produk hanya terjadi secara fisik, sedangkan perubahan secara kimiawi biasanya tidak terjadi pada tahap ini dan penanganan sekunder sebagai kelanjutan dari penanganan primer, dimana pada tahap ini akan terjadi baik perubahan bentuk fisik maupun komposisi kimia dari produk akhir melalui suatu proses pengolahan

Bentuk penanganan primer yang dilakukan antara lain adalah pengumpulan di kebun, pangangkutan dari kebun ke tempat penampungan (rumah pengemasan/packing house), pembersihan dan pencucian (cleaning and washing),  pemilihan dan penggolongan (sorting and grading), pemberian perlakuan misalnya fumigasi,  perlakuan dengan air panas (hot water treatment) atau uap panas (vapour heat treatment atau VHT), pelapisan lilin untuk buah-buahan (waxing), pelabelan, pengemasan, penyimpanan,  pemeraman dan pengangkutan ke tempat pemasaran, tempat pengolahan atau langsung ke konsumen (transportation and distribution). Sedangkan yang termasuk kedalam kegiatan  penanganan sekunder adalah seluruh kegiatan yang mengolah lebih lanjut produk penanganan  primer menjadi bahan olahan, misalnya pembuatan sari buah, pengalengan, pengeringan,  pembuatan keripik pisang, pembuatan cabe kering, pembuatan tepung beras, pengolahan saus tomat dan sejenisnya. Kegiatan penanganan primer biasanya dilakukan didekat daerah sentra  produksi, sedangkan pengolahan pada tahap penanganan sekunder umumnya dilakukan dekat daerah pemasaran dan dilakukan oleh suatu perusahaan/industri pengolahan.

Teknologi pasca panen merupakan suatu perangkat yang digunakan dalam upaya peningkatan kualitas penanganan dengan tujuan mengurangi susut karena penurunan mutu produk yang melibatkan proses fisiologi normal dan atau respon terhadap kondisi yang tidak cocok akibat perubahan lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis. Teknologi pasca panen diperlukan untuk menurunkan atau bila mungkin menghilangkan susut pasca panen. Susut pasca panen produk hortikultura berkisar antara 15% hingga 25% tergantung pada jenis produk dan teknologi pasca panen yang digunakan.

Dalam rangka pengembangan produk hilir tanaman perkebunan yang berdaya saing, berinovasi teknologi, serta berorientasi pasar dan berbasis sumberdaya lokal, maka pengembangan penanganan pasca panen haruslah dipandang sebagai satu bagian dari suatu sistem secara keseluruhan, dimana setiap mata rantai penanganan memiliki peran yang saling terkait. Produk hasil perkebunan seperti juga produk pertanian secara umum, setelah dipanen masih melakukan aktifitas metabolisme sehingga jika tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan kerusakan secara fisik dan kemik. Sifat mudah rusak (perishable) dari produk mengakibatkan tingginya susut pasca panen serta terbatasnya masa simpan setelah pemanenan sehingga serangga, hama dan penyakit akan menurunkan mutu produk. Kondisi produk yang dipanen dipengaruhi oleh faktor pra panen misalnya dalam pemilihan varietas, sistem tanam dan teknik budidayanya. Faktor lingkungan dan adanya serangan hama dan penyakit juga amat besar pengaruhnya terhadap produk segar yang dipanen. Ketiga faktor tersebut masih belum cukup untuk dapat menghasilkan produk dengan mutu prima, maka disinilah peran teknologi pasca panen menjadi amatlah penting. Semua sub-sistem tersebut haruslah terintegrasi untuk mendapatkan produk dengan kualitas prima dan stabil.

Dalam pengembangan sistem penanganan pasca panen hasil pertanian juga perlu dukungan dari berbagai komponen yang terkait dengan kegiatan agribisnis, petani, kelompok tani, koperasi, pedagang, penyuluh dan pemerintah memegang peran yang amat sentral dalam pengembangan sistem operasi penanganan pascapanen yang akan menentukan tingkat kualitas dan kuantitas produk yang akan dipasarkan. Kegiatan petani akan berjalan dengan baik jika mendapat dukungan teknologi dari industri, informasi standar mutu dan pasar dari konsumen, serta pelatihan teknologi, manajemen mutu dan pasar dari petugas penyuluh lapang. Disamping itu, dukungan dari lembaga litbang dan perguruan tinggi, lembaga keuangan serta kebijakan pemerintah yang memayungi seluruh sistem yang berjalan. Keseluruhan sistem ini harus berjalan secara sinergi dan terpadu sehingga dapat tercapai keberlanjutan operasi penanganan pasca panen untuk menghasilkan produk secara optimal.

Disadur dari berbagai sumber:


Sumber Gambar:

http://berita2bahasa.com
 

Mengenal Varietas Padi yang Adaptif Terhadap Perubahan Iklim



Upaya peningkatan produksi beras di Indonesia saat ini dan pada masa yang akan datang di antaranya masih terkendala oleh : (1) semakin terbatasnya ketersediaan air pengairan dan sumber air, (2) perubahan iklim akibat pemanasan global yang terwujud dalam bentuk peningkatan suhu udara, kebanjiran dan kekeringan, (3) pergeseran waktu dan pola tanam, (4) kecenderungan peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman dan (5) pemilihan komoditas/varietas yang kurang sesuai dengan kondisi iklim.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah melakukan perbaikan teknik budidaya padi sawah dengan varietas unggul. Selain berdaya hasil tinggi sekitar 5-8 ton/ha, beberapa varietas tersebut berumur pendek, tahan terhadap OPT tertentu, toleran terhadap banjir maupun kekeringan, responsive terhadap pemupukan, serta rasa nasi yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Upaya tersebut akan lebih optimal melalui pendekatan operasional dengan memperhatikan informasi antar musim dan waktu tanam yang tepat.
Serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan hampir selalu terjadi setiap tahun. Intensitas dan frekuensi serangannya semakin meningkat yang salah satu penyebabnya dipicu oleh intensitas dan frekuensi perubahan iklim yang makin meningkat dalam dasawarsa terakhir. Ancaman banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi pada lahan sawah menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi padi. Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman. Terdapat indikasi bahwa lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami ledakan serangan hama wereng coklat. Di lain pihak, kekeringan juga akan menurunkan hasil tanaman.
Salah satu upaya antisipasi menghadapi permasalahan tersebut adalah melalui penggunaan varietas unggul. Menurut Susanto (2003) varietas unggul merupakan teknologi yang mudah, murah dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Teknologi tersebut mudah, karena petani tinggal menanam, murah karena varietas unggul yang tahan hama misalnya, memerlukan insektisida jauh lebih sedikit dari pada varietas yang peka. Varietas unggul relative aman, karena tidak menimbulkan polusi dan perusakan lingkungan. Fattah (2008) menyatakan bahwa komponen teknologi baru dengan menggunakan varietas unggul baru (VUB) lebih cepat diadopsi petani disbanding komponen teknologi lainnya. Peningkatan produksi yang dihasilkan melalui penggunaan VUB lebih cepat dirasakan petani dan meningkatkan produksi lebih tinggi. Selain itu menurut Arjasa et al. (2004) introduksi VUB dapat meningkatkan produksi sekitar 15-35%.
Pada periode 1943-2007 Balitbangtan telah melepas varietas unggul padi sawah sebanyak 190 varietas (MSyam 2007). Sampai saat ini, varietas padi aktual di hampir seluruh wilayah Indonesia masih didominasi oleh varietas Ciherang kecuali di Sumatera Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan Papua. Varietas dominan berikutnya adalah Mekonggadan Cigeulis yang pada umumnya tersebar di Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Rekomendasi VUB seperti Inpari 1, Inpari 10 dan Inpari 13 serta Mekongga banyak disarankan di wilayah Sumatera kecuali di Sumatera Barat  yang direkomendasikan varietas local seperti Batang Piamandan Batang Lembang. Untuk wilayah Jawa, Bali, NTT dan NTB, banyak direkomendasi Inpari 10, Inpari 13, serta Mekongga. Untuk wilayah Kalimantan, pada lahan beririgasi Mekongga dan pada lahan rawa Inpara 1, Inpara 2 danInpara 4. Untuk wilayah Indonesia Timur seperti di Sulawesi, Maluku, dan Papua direkomendasikan Inpari 10, serta varietas local seperti Tukad Unda, Tukad Balian dan Way Apo Buru.
Rekomendasi varietas untuk mengantisipasi perubahan iklim sangat tergantung dari informasi tingkat kerawanan terhadap bencana baik banjir, kekeringan, maupun OPT. Pada wilayah dengan sifat hujan normal varietas yang direkomendasikan adalah padi spesifik lokasi baik VUB maupun local dengan memperhatikan kondisi agroekologis (Iahan sawah, lahan kering, lahan rawa maupun preferensi masyarakat atau konsumen masing-masing wilayah). Beberapa varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terkena banjir ringan sampai sedang, adalah Inpari 13, Inpari 29, Inpari 30, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4 danInpara 5. Untuk wilayah rawan sampai sangat rawan banjir yaitu: Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Kapuas, Batanghari, Banyuasin, danTapus.
Di wilayah terindikasi kekeringan ringan sampai sedang direkomendasikan varietas Inpari 1, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 12, Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5. Rekomendasi varietas untuk wilayah rawan sampai sangat rawan kekeringan adalah Inpari 10, Inpari 12, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang tungro ringan sampai sedang yaitu Inpari 4, Inpari 5, Inpari 7, Inpari 8, Inpari 9, Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu, danTukad Balian. Varietas Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu dan Tukad Baliandi rekomendasikan juga untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan.
Pada wilayah yang terindikasi terserang wereng batang coklat (WBC) ringan sampai sedang direkomendasikan varietas Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 18, Inpari 19, Widas, Cisantana, Konawe dan Mekongga. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang WBC rawan sampai sangat rawan yaitu Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, dan Mekongga.
Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang Blast ringan sampai sedang yaitu Inpari 14, Inpari 15, Inpari 20, Situ Bagendit, Inpari 12, Inpari 13, Inpari 16, Inpari 11, Inpari 17, Batang Piaman, Situ Patenggang, Limboto, Danau Gaung, dan Batutugik. Varietas Inpari 11, Inpari 17, Batang Piaman, Situ Patenggang, Limboto, Danau Gaung, Batu tugik direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan.

Sumber : http://m.tabloidsinartani.com/index
Penulis  : Agus Sutaraman
(Ulfah Risnaini_13792)