Pertanian merupakan sektor
penting yang menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Namun sektor
pertanian masih mengalami banyak hambatan dalam kegiatannya sehingga belum
mampu secara maksimal bersaing dengan produk pertanian negara lain. Salah satu
aspek penting yang perlu diperbaiki untuk memaksimalkan keunggulan produk
terletak pada pengolahan pasca panen hasil pertanian.
Saat ini penanganan pasca panen
dan pengolahan produk hortikultura masih bersifat tradisional sehingga
mengakibatkan tingkat kerusakan dan kehilangan cukup tinggi. Pengepakan dan
pengangkutan belum dilakukan dengan baik sehingga mengakibatkan kerusakan
produk. Pasalnya, sebagian besar petani Indonesia masih bersifat tradisional
dalam penanganan pasca panen produk pertanian, sehingga banyak mengalami
penyusutan kualitas dan kuantitas yang berdampak terhadap nilai jual. Di sisi
lain, pengetahuan dan keterampilan petani dalam bidang pengolahan hasil masih
sangat minim, sehingga tidak dapat meningkatkan nilai tambah. Kelembagaan pasca
panen yang belum berkembang, terbatasnya sarana prasarana pasca panen, dan
belum mantapnya kemitraan usaha antara produsen dan industri juga menjadi salah
satu faktor penyebab kurang berkembangnya pengolahan pasca panen hasil
pertanian.
Pengolahan pasca panen yang berdasarkan rentang kegiatannya dan cakupan
teknologi pasca panen dibedakan menjadi dua kelompok, yakni penanganan
primer yang meliputi penanganan komoditas hingga menjadi produk setengah
jadi atau produk siap olah, dimana perubahan/transformasi produk hanya terjadi
secara fisik, sedangkan perubahan secara kimiawi biasanya tidak terjadi pada
tahap ini dan penanganan sekunder sebagai kelanjutan dari penanganan
primer, dimana pada tahap ini akan terjadi baik perubahan bentuk fisik maupun
komposisi kimia dari produk akhir melalui suatu proses pengolahan
Bentuk penanganan
primer yang dilakukan antara lain adalah pengumpulan di kebun, pangangkutan
dari kebun ke tempat penampungan (rumah pengemasan/packing house), pembersihan dan pencucian (cleaning and washing), pemilihan dan penggolongan (sorting and grading), pemberian
perlakuan misalnya fumigasi, perlakuan dengan air panas (hot water
treatment) atau uap panas (vapour heat
treatment atau VHT), pelapisan lilin untuk buah-buahan (waxing), pelabelan, pengemasan,
penyimpanan, pemeraman dan pengangkutan ke tempat pemasaran, tempat
pengolahan atau langsung ke konsumen (transportation and distribution).
Sedangkan yang termasuk kedalam kegiatan penanganan sekunder
adalah seluruh kegiatan yang mengolah lebih lanjut produk penanganan
primer menjadi bahan olahan, misalnya pembuatan sari buah, pengalengan,
pengeringan, pembuatan keripik pisang, pembuatan cabe kering, pembuatan
tepung beras, pengolahan saus tomat dan sejenisnya. Kegiatan penanganan primer
biasanya dilakukan didekat daerah sentra produksi, sedangkan pengolahan
pada tahap penanganan sekunder umumnya dilakukan dekat daerah pemasaran dan
dilakukan oleh suatu perusahaan/industri pengolahan.
Teknologi pasca panen merupakan suatu perangkat yang digunakan dalam upaya
peningkatan kualitas penanganan dengan tujuan mengurangi susut karena penurunan
mutu produk yang melibatkan proses fisiologi normal dan atau respon terhadap
kondisi yang tidak cocok akibat perubahan lingkungan secara fisik, kimia, dan
biologis. Teknologi pasca panen diperlukan untuk menurunkan atau bila mungkin
menghilangkan susut pasca panen. Susut pasca panen produk hortikultura berkisar
antara 15% hingga 25% tergantung pada jenis produk dan teknologi pasca panen
yang digunakan.
Dalam rangka pengembangan produk hilir tanaman perkebunan yang berdaya
saing, berinovasi teknologi, serta berorientasi pasar dan berbasis sumberdaya
lokal, maka pengembangan penanganan pasca panen haruslah dipandang sebagai satu
bagian dari suatu sistem secara keseluruhan, dimana setiap mata rantai
penanganan memiliki peran yang saling terkait. Produk hasil perkebunan seperti
juga produk pertanian secara umum, setelah dipanen masih melakukan aktifitas
metabolisme sehingga jika tidak ditangani dengan segera akan mengakibatkan
kerusakan secara fisik dan kemik. Sifat mudah rusak (perishable) dari produk mengakibatkan tingginya susut pasca panen
serta terbatasnya masa simpan setelah pemanenan sehingga serangga, hama dan
penyakit akan menurunkan mutu produk. Kondisi produk yang dipanen dipengaruhi
oleh faktor pra panen misalnya dalam pemilihan varietas, sistem tanam dan
teknik budidayanya. Faktor lingkungan dan adanya serangan hama dan penyakit
juga amat besar pengaruhnya terhadap produk segar yang dipanen. Ketiga faktor
tersebut masih belum cukup untuk dapat menghasilkan produk dengan mutu prima,
maka disinilah peran teknologi pasca panen menjadi amatlah penting. Semua
sub-sistem tersebut haruslah terintegrasi untuk mendapatkan produk dengan
kualitas prima dan stabil.
Dalam pengembangan sistem penanganan pasca panen hasil pertanian juga perlu
dukungan dari berbagai komponen yang terkait dengan kegiatan agribisnis, petani,
kelompok tani, koperasi, pedagang, penyuluh dan pemerintah memegang peran yang
amat sentral dalam pengembangan sistem operasi penanganan pascapanen yang akan
menentukan tingkat kualitas dan kuantitas produk yang akan dipasarkan. Kegiatan
petani akan berjalan dengan baik jika mendapat dukungan teknologi dari
industri, informasi standar mutu dan pasar dari konsumen, serta pelatihan
teknologi, manajemen mutu dan pasar dari petugas penyuluh lapang. Disamping
itu, dukungan dari lembaga litbang dan perguruan tinggi, lembaga keuangan serta
kebijakan pemerintah yang memayungi seluruh sistem yang berjalan. Keseluruhan
sistem ini harus berjalan secara sinergi dan terpadu sehingga dapat tercapai keberlanjutan
operasi penanganan pasca panen untuk menghasilkan produk secara optimal.
Disadur dari berbagai sumber:
Sumber Gambar:
http://berita2bahasa.com